Senin, 01 November 2010

EDUCATION


Membangun Pendidikan yang Bermartabat

Oleh : ‘Dwi setyanto ‘’

Pendahuluan

Karakter sangat melekat pada setiap diri semua orang, setiap orang mempunyai karakter sendidri-sendiri. Kareakter terbentuk dari pola pikir, rasa dan perbutan yang di lakukan berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan. Pola pikir, pola rasa dan tindakan tersebut terpengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar. Jadi karakter seseorang terbentuk karena pengaruh lingkungan pada diri mereka masing-masing. Dengan demikian karakter tersebut sangat tergantung dimana sang individu tersebut mangalami proses hidupnya.

Dalam dunia pendidikan pembentukan karakter peserta didik sungguh sangat diperlukan. Pendidikan bukan hanya melulu menjadi alat transfer pengetahuan tetapi juga menjadi alat transfer untuk membentuk manusia menjadi lebih manusiawi. Bila dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran antarkomunitas, tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya, berkehidupan bersama berarti telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainnya (baca: internasional). Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan negara.

Pendidikan Bermartabat

Pembangunan karakter dalam dunia pendidikan akan mempersiapkan peserta didik mempunyai dasar yang kuat dalam mengambil keputusan dalam pilihan hidupnya sehingga mereka akan menjadi lebih bebas. Pendidikan harus menjadikan manusia semakin bermartabat dan dalam hal ini pendidikan akan membangun karakter anak bangsa menjadikan bangsa mereka menjadi makin bermartabat. Untuk itu diperlukan pendidikan yang bermartabat. Pendidikan bermartabat adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan, dengan demikian manusia akan menjadi semakin bernilai dan berharga. Dengan demikian karena manusia dalam hal ini adalah peserta didik merasa berharga akan timbul rasa dicintai. Dan karena merasa dicintai itulah makan peserta didik akan semakin antusias dalam proses belajar mengajar

Pembelajaran yang Menyenangkan

Proses belajar mengajar akan menentukan arah dantujuan pendidikan yang kita lakukan. Bagaimana seni menguasai kelas, menerangkan materi pembelajaran. Dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah yang bernama pedagogik, pedagogik sendiri berasal dari kata Paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak, Pedagogik yang merupakan praktek pendidikan anak dan kemudian muncullah istilah Pedagogik yang berarti ilmu mendidik anak.

Lalu apa sih yang menjadi kesalahpahaman istilah Pedagogik?

Kadang sebagian orang mengartikan bahwa pedagogik merupakan ilmu pendidikan, pemaknaan ini tidak berarti salah namun juga tidak sepenuhnya benar, mengapa? Karena jika ditinjau dari makna pendidikan secara luas maka Pendidikan adalah hidup. Lebih tepatnya segala pengalaman di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu.

Dari pengertian diatas maka bisa dipahami ada beberapa tingkatan dalam pendidikan, sehingga menimbulkan cabang ilmu pendidikan yang dikembangkan para ahli yaitu pendidikan pada anak yang disebut Pedagogik, ilmu pendidikan bagi orang dewasa yang disebut Andragogi serta pendidikan bagi ilmu pendidikan manula yang disebut Gerogogi.

Jelaslah bahwa Pedagogik terbatas pada ilmu pendidikan anak atau ilmu mendidik anak. Maka timbul pertanyaan lain, kapankah seorang anak masuk dalam kawasan pedagogik? Menurut M.J. Langeveld, pendidikan baru terjadi ketika anak telah mengenal kewibawaan, syaratnya yaitu terlihat pada kemampuan anak memahami bahasa, karena sebelum itu dalam pedagogik anak tidak disebut telah dididik yang ada adalah pembiasaan. Sedang batas atasnya yaitu ketika anak telah mencapai kedewasaan atau bisa disebut orang dewasa.

Kemudian, mengapa Pedagogik diperlukan? Padahal pedagogik yang merupakan rangakaian teori kadang berlainan dengan praktek di lapangan? Ada dua alasan yang melandasinya, yaitu bahwa pedagogik sebagai suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan anak diperlukan, karena akan menjadi dasar bagi praktek mendidik anak. Selain itu bahwa pedagogik akan menjadi standar atau kriteria keberhasilan praktek pendidikan anak. Kedua, manusia memiliki motif untuk mempertanggungjawabkan pendidikan bagi anak-anaknya, karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, praktek pendidikan anak memerlukan pedagogik sebagai landasannya agar tidak jadi sembarangan.

Jadi, pengertian bahwa pedagogik adalah ilmu pendidikan berarti benar dalam pengertian pendidikan pedagogik, namun berarti salah jika mengacu pada makna pendidikan secara luas.

Untuk meyakinkan lebih jauh, pedagogik secara jelas memiliki kegunaan diantaranya bagi pendidik untuk memahami fenomena pendidikan secara sistematis, memberikan petunjuk tentang yang seharusnya dilaksanakan dalam mendidik, menghindari kesalahan-kesalahan dalam praktek mendidik anak juga untuk ajang untuk mengenal diri sendiri dan melakukan koreksi demi perbaikan bagi diri sendiri.

Lalu apakah dengan mempelajari pedagogik dan mempraktekannya dapat mendidik anak sehingga anak dapat mencapai kesuksesan? Jawabannya adalah bisa, karena tujuan pedagogik adalah memanusiakan manusia, menjadikan seseorang dewasa demi kebahagiaan dalam menjalani kehidupan. Kesuksesan ini jangan terus dikurung dalam artian pada kemapanan materi dari pandangan kita sebagai seorang pendidik sejati, tapi hakikatnya adalah menjadikan kesuksesan itu sebagai keberhasilan dalam menanamkan pada diri seseorang kebahagiaan dalam menjalani hidup dengan mengaplikasikan seperti misalnya mematuhi norma-norma yang ada pada masyarakat. Intinya, menjadikan seseorang menjalani hidup dengan bahagia.

Cara menghidupkan dan menerapkan nilai-nilai kepribadian, agar terbetuknya jati diri baik anak-anak, pribadi, keluarga, kelompok, komunitas, maupun golongan dengan menghidupkan Living Values dengan berbagai komitmen. Membangun komitmen bersama menghidupkan nilai-nilai budaya dengan melibatkan semua warga sekolah. Beberapa cara itu dikemukakan oleh Fidelis Waruwu dalam bentuk tindakan konkrit berikut.

1. Total Action.

Kenapa seorang anak yang dipercayakan di sekolah kita menjadi bandel ? Nakal ? Suka berkelahi ? Malas mengerjakan PR ? Jawaban bisa bermacam-macam. Tetapi secara umum hal-hal ini bisa ditanggulangi dengan cara pembiasaan. Seorang anak yang bandel, nakal, suka berkelahi dst. bisa jadi, hasil penanaman orangtua dari rumah atau akibat sering dipukul/ dimarahi terus-menerus oleh orang dewasa, terlalu sering ditegor tanpa ada pemecahan masalah. Dan karena sudah sering diperlakukan begini (mendarah daging) terbawa model itu ke sekolah kita.

Tugas guru memperbaiki model-model kepribadian itu, dari 40 orang siswa atau satu kelas dipersatukan maka memunculkan sebanyak 40 model pola atau model kepribadian. Guru-guru kita harus bisa menyatukan hal itu, bila perlu membuat “total action” yaitu gebrakan bersama-sama sesuai kesepakatan. Total Action bisa dilakukan dengan melibatkan seluruh guru-guru. Sebelum total action para warga diajak membuat kesepakatan apa yang boleh dan apa yang tidak bisa dilakukan. Dalam hal ini, Fidelis menegaskan, “Contoh penerapan total action secara sederhana misalnya dalam satu kelas, yaitu membuat aturan kelas. Libatkan anak-anak yang bandel, duduk bersama, bicara bersama-sama, menyepakati apa yang baik dan bisa dilakukan bersama di kelas itu. Yang nakal/ bandel dilibatkan menjadi penulis hasil kesepakatan, kemudian suruh dipajang. Guru tinggal mengingatkan saja…” Dan untuk memelihara nilai yang baik itu, terapkan penanaman satu nilai penghargaan kepribadian yaitu bila anak-anak berhasil melakukan hal-hal yang baik itu, beri pujian ! Ajaklah bertepuk tangan sebagai bentuk penghargaan.

Pesan Fidelis, “Saya meminta di sekolah-sekolah, kita buat dan terapkan total action, satu contoh (misalnya) semua guru menasehati anak-anak yang tidak berpakaian seragam lengkap. Caranya mudah saja, cukup satu menit ketika masuk ke dalam kelas guru memanggil atau menyuruh ke depan kelas yang berpakaian kurang lengkap, tanya jawab, lalu dinasehat baik-baik. Guru yang mengajar les berikutnya juga melakukan hal yang sama. Dan begitu seterusnya, saya yakin satu sampai tiga minggu pelaksanaan total action itu, dipastikan 80 % siswa pasti telah berseragam lengkap. Hanya penting diingat, bila ada seorang guru tidak atau lupa menerapkan maka kegagalan sudah bisa dipastikan akan menanti. ”

1. Motivasi yang Tulus

Banyak orang berbicara tentang motivasi, tetapi bagaimana penerapannya ? Pertama, tanamkan bahwa menghargai orang lain sangat penting dilakukan. Kedua, bila ingin dihargai, maka berilah contoh keteladanan menghargai orang lain. Ketiga, hindarilah menyakiti sesama. Artinya bila seorang guru memotivasi siswanya, dapat dilakukan dengan memberi pujian secara nyata dan tulus. Begitu seorang anak berhasil menjawab satu soal dan ternyata benar, guru memberi pujian kepada anak tersebut. Cara memuji tidak boleh dibuat-buat, tetapi sungguh dari hati yang tulus nyata dan ada perkembangan. Nah yakinkan siswa anda, ternyata dia bisa, dia hebat, dan dia mampu. Kalau ini dilakukan secara tulus dan kontinu anak bisa tumbuh lebih baik, dibanding mendidik anak dengan cara mengancam, pemberian sanksi atau hukuman. Kata Fidelis, “Pribadi guru yang mengajar dengan motivasi tulus, dipastikan jauh lebih baik hasilnya karena dirasakan langsung, ketimbang guru hanya memberikan hukuman dan hukuman.” Kesimpulan, bahwa pengaruh pembentukkan kepribadian dengan menghukum tidak memotivasi peningkatan hasil belajar.

1. Memberi Keteladanan

Model keteladanan yang bisa diandalkan adalah perilaku guru sebagaimana semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Semboyan ini sebenarnya sudah sangat membantu dalam mewujudkan jati diri. Pada umumnya seorang siswa mengidolakan gurunya. Pepatah yang sudah lama dikenal “kalau guru kecing berdiri maka siswa kencing berlari” tetap menjadi pedoman paling depan. Suri keteladanan guru untuk menunjukkan sikap disiplin tepat waktu akan menjadi model dan dipedomani oleh anak.

Bila disiplin waktu dimasukan ke dalam program total action, maka hal ini sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan kita. “Bayangkan, bila mulai dari Kepala Sekolah – guru – pegawai atau semua orang dewasa memberi contoh, sudah datang sebelum pukul tujuh ke sekolah, lalu anak-anak dinasehati meniru guru-guru agar dapat displin waktu, dipastikan bahwa 80 % anak-anak kita akan mampu melakukan hal-hal yang sama.” tegas Fidelis, Narasumber yang memberi pelatihan Living Values Education pertama di Kota Sibolga. “Sebaliknya, guru menasehati anak-anak agar disiplin waktu, tetapi ternyata dilihat oleh siswa ada 2 – 3 orang guru yang datang terlambat. Maka anak bisa berpikir lain, kok dibilang disiplin kepada kami, tetapi tidak dilaksanakan ? Yang mana yang betul disiplin hanya berlaku untuk siswa ? Maka kita tidak perlu heran, budaya santai terjadi di sekolah, ada anak-anak juga meniru sikap santai saja. Dan kalau sudah begini, sesungguhnya siswa tidak boleh diberi sanksi. Secara psikologi kita mengajari anak berbohong lewat nasehat guru. Dikatakan disiplin, tetapi mendisiplinkan diri sendiri tidak mampu, iya kan ?”

Salah satu contoh riil dalam pembelajaran adalah bagaimana menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk belajar baik bagi guru maupun siswa dan bagaiman keratifitas guru untuk menyampaikan materi semenarik mungkin. Guru dituntuk mampu mengembangkan teknik mangajar yang mengajak peserta didik tidak hanya sekedar tahu tapi paham. Cara sederhana adalah dengan membuat media balajar yang menarik bagi peserta didik misalnya memanfaatkan teknologi komputer atau membuat permainan-permainan yang mambuat peserta didik menjadi menarik.

Dalam hal ini saya mencontohkan diri saya sebagai pengajar komputer untuk bisa merangsang anak untuk semakin ingin tahu dengan membuat beberapa proyek yang bisa mengajak mereka untuk berkompetisi satu sama lain. Saya tidak hanya melulu menerangkan tetapi justru membuat anak untuk bisa menemukan problem dari masalah yang dihadapi. Saya memberikan masalah sebagai tantangan bagi mereka untuk kreatif. Dengan meraka mampu menemukan pemecahan masalah yang mereka hadapi diharapkan mereka akan memahami dan tidak hanya sekedar hafal.

Sumber

1. http://7691an.wordpress.com/2009/03/08/pengertian-dan-perlunya-pedagogik/

2. http://www.elinus.waruwu.web.id/?p=23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar