Minggu, 03 Oktober 2010


Apakah agama itu kebudayaan? Jawaban pertanyaan ini telah menimbulkan berbagai perdebatan, suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang dating dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Maka dalam soal ini, menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaaN”

1. Kompetensi Dasar

Setelah perkuliahan berakhir, mahasiswa dapat mengetahui hubungan agama

dengan kebudayaan kebudayaan

2. Materi

Hubungan Agama dengan Kebudayaan

a. Apakah Agama Merupakan Bagian Kebudayaan

b. Agama Bukan-wahyu Merupakan Bagian dari Kebudayaan

c. Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian Kebudayaan

3. Indikator Pemcapaian

Setelah perkuliahan berakhir, mahasiswa dapat :

a. mampu menjelaskan apakah agama merupakan bagian kebudayaan,

b. mampu menjelaskan agama bukan-wahyu merupakan bagian dari

kebudayaan,

c. mampu menjelaskan agama samawi bukan merupakan bagian kebudayaan

4. Sumber

Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi

Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta.

Musa Asy’ari, 1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan, LESFI, Yogyakarta.

Ahmad Abdullah al-Masdoosi, 1962, Living Religions of the World: a Sociopolitical

Study, English Renderring by Zavar Ishaq Ansari [Karachi: Begum

Aisha Bawany Wakf.

Koentjaraningrat, 1964, Pengantar Antropologi, UI, Jakarta.

Sidi Gazalba, 1976, Sistematika Filsafat [buku I], Bulan Bintang, Jakarta.

Y.B. Sariyanto Siswosoebroto, 1978, “Kebatinan dan Agama Kristen” dalam

harian Masa Kni [No.247 tahun XII, 8 Februari 1978].

Endang Saifuddin Anshari, 1980, Agama dan Kebudayaan, Cet. Ke-1, Bina

Ilmu, Surabaya.

5. Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran yang digunakan adalah “Rolling Ide”. Skenario kelas:

dengan waktu 100 menit, langkah-langkah yang dilakukan, sebagai berikut :

a. Materi kuliah telah diberikan kepada mahasiswa 1 [satu] minggu sebelum

perkuliahan. Mahasiswa diharuskan untuk membaca dan memahami

materi tersebut agar memudahkan pada saat kegiatan belajar dengan

pendekatan rolling ide.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 2 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

b. Langkah-langkah yang dilakukan dengan pendekatan “Rolling Ide”,

sebagai berikut :

1] Langkah pertama, Dosen memberikan kuliah dengan pendekatan

Interactive Lecturing antara 10 s/d 15 menit.

2] Langkah kedua, dosen membagi mahasiswa dalam 4 [empat]

kelompok dengan teknis atau cara menghitung 1 – 4.

3] Langkah ketiga, dosen menjelaskan global materi dan kemudian

mengajukan 4 [empat] masalah untuk dibahas masing-masing

kelompok.

4] Langkah keempat, menempelkan kertas plano didinding dengan

membagikan kertas plano tersebut kedalam empat kotak.

5] Langkah kelima, masing-masing kelompok berdiskusi dan menuliskan

hasil dikusinya dikertas plano pada kolom yang telah disediakan.

6] Langkah keenam, mulai rolling yaitu kelompok 1 [satu] mencermati

pandangan kelompok 2 [dua] dan mendiskusikan, kemudian menulis

pandangan meraka dikertas plano pada kotak yang telah disediakan,

begitu juga kelompok 2,3, dan 4 juga melakukan rolling, sehingga

empat kotak pada kertas plano tersebut terisi semua.

7] Langkah ketujuh, semua kelompok dipertemukan dalam diskusi kelas

dan meminta pendapat dari masing-masing kelompok.

8] Langkah kedelapan, adalah menutup kuliah. Maka, sebelum menutup

perkuliahan, doronglah semua mahasiswa untuk menyambut dengan

applaus atas “diskusi” yang telah dilakukan, setelah itu tutup kuliah

dengan membaca do’a [ waktu 15 menit].

6. Lembar Kegiatan Pembelajaran

a. Pahami dan kuasai materi ini dengan baik, agar pada waktu “rolling ide”

di kelas saudara tidak mengalami kesulitas.

b. Mulailah memotivasi diri untuk membaca, dari yang mudah, dan mulai

membaca sekarang.

c. Bacalah skenario pada petunjuk umum, sehingga memudahkan

saudara dalam aktivitas pembelajaran di kelas.

7. Evaluasi

a. Setelah kegiatan belajar berakhir, mahasiswa diminta mengerjakan test

[post test], sehingga dapat diketahui seberapa jauh Tujuan Pembelajaran

dalam pembahasan materi tersebut dapat tercapai.

b. Apabila mahasiswa dapat menjawab 70% dari soal-soal test dengan betul,

berarti mahasiswa telah mencapai Tujuan Pembelajaran dalam

pembahasan materi yang disampaikan dosen.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 3 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

II. MATERI KULIAH

HUBUNGAN AGAMA DENGAN KEBUDAYAAN

1. Agama Merupakan Bagian Kebudayaan

Apakah agama itu kebudayaan? Jawaban pertanyaan ini telah

menimbulkan berbagai perdebatan, suatu pihak menyatakan bahwa agama

bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa

agama adalah kebudayaan1. Kelompok orang yang tidak setuju dengan

pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama

itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang

dating dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian,

sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan,

karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang

benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang

dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan

manusia, dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri,

baik dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya,

maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan.

Maka dalam soal ini, menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama

sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau

tidak mau menjadi soal kebudayaa”2 .

Para sarjana-sarjana, terutama sarjana Barat dan sebagian sarjana dan

budayawan Indonesia tidak pilih-pilih dan menyamaratakan begitu saja

semua agama sebagai bagian dari kebudayaan. Para sarjana tersebut,

terutama sarjana Barat nampaknya melihat agama yang banyak dan

beraneka-ragam di dunia ini sebagai hal yang sama dan pada dasarnya

sama. Dalam pemikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua

agama itu pada dasarnya adalah sama dan merupakan “fenomena atau

gejala sosial” yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia.

Menurut mereka, dalam kehidupan manusia terdapat aspek umum yang

bernama agama. Genus agama itu mengandung “species” yang bermacammacam,

diantaranya adalah agama Islam3.

Sebenarnya, apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan

itu adalah “garis batas Tuhan dan manusia” , maka wilayah agama dan

1 Musa Asy’ari, 1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan, LESFI, Yogyakarta,hlm.75.

2 Ibid. hlm.75.

3 Faisal Ismail,1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm. 34

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 4 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

wilayah kebudayaan itu pada dasarnya tidak “statis”, tetapi “dinamis”, sebab

Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi

“khalifah” [wakil]-Nya di bumi. Maka pada tahapan ini, adakalanya antara

“agama” dan “kebudayaan” menempatii wilayah sendiri-sendiri, dan

adakalanya keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu yang disebut

dengan “wilayah kebudayaan agama”, seperti dapat di gambarkan dalam

bagan, sebagai berikut [lihat gambar: 1]4.

Agama sesungguhnya untuk

manusia, dan keberadaan agama dalam

praktik hidup sepenuhnya berdasar pada

kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya

manusia untuk agama. Oleh karena itu,

agama untuk manusia, maka agama pada

hakekatnya menerima adanya pluralitas

dalam memahami dan menjalankan

ajarannya [Musa Asy’arie, 1999:76]. Jika

agama untuk manusia, maka agama

sesungguhnya telah memasuki wilayah

kebudayaan dan menyejarah menjadi

kebudayaan dan sejarah agama adalah

sejarah kebudayaan agama yang menggambarkan dan menerangkan

bagaimana terjadi proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia

tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan dalam

realitas kehidupan manusia dan dalam sejarah perkembangan agama itu,

sehingga “agama yang menyejarah telah sepenuhnya menjadi wilayah

kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya

sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah

dituliskan”5.

Di kalangan sarjana Barat, penganjur kelompok ini adalah Emile

Durkheim [1859-1917], seorang sarjana Perancis, yang agaknya ikut

mempengaruhi pemikiran sebagian sarjana Indonesia. Salah seorang sarjana

Indonesia Koentjaraningrat, yang menurut pengakuannya sendiri telah

terpengaruh oleh konsep Emil Durkheim. Dengan menggunakan istilah

“religie” dan bukan “agama” [karena menurut beliau lebih netral],

Koentjaraningrat berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari

kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat ini didasarkan kepada konsep

Durkheim mengenai dasar-dasar religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap

4 Musa Asy’arie, 1999, hlm. 76.

5 Ibid. hlm. 76-77.

K

KA A

Gambar 1 :

K = Kebudayaan

A = Agama

KA = Kebudayaan dan

Agama

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 5 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

relegi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: [1]

Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. [2] Sistem

kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan

manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib. [3]

Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan

Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.

[4] Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang

menganut sistem kepercayaan tersebut.

Koentjaraningrat, menyimpulkan bahwa “komponen sistem

kepercayaan, sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang

menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius,

jelas merupakan ciptaan dan hasil akan manusia. Adapun komponen

pertama, yaitu emosi keagamaan, digetarkan oleh cahaya Tuhan. Relegi

sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya

Tuhan yang mewarnainya dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian

dari kebudayaan6.

Pendirian Koentjaraningrat di atas tercermin dalam teori culturaluniversals-

nya, di mana beliau memasukkan religi sebagai isi [bagian] dari

kebudayaan, yaitu: [1] Peralatan dan perlengkapan hidup manusia [pakaian,

perumahan, alat-alat rumahtangga, senjata, alat-alat produksi, alat transport,

dan lain sebagainya]. [2] Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi

[pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan lain

sebagainya]. [3] Sistem kemasyarakatan [sistem kekerabatan, organisasi

politik, sistem hukum, sistem perkawinan]. [4] Bahasa [lisan maupun tertulis].

[5] Keseniaan [seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya]. [6]

Ilmu pengetahuan. [7] Relige7.

Muhammad Hatta, mengatakan bahwa agama merupakan bagian dari

kebudayaan: “Kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada suatu bangsa.

Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama

itu suatu ciptaan manusia atau tidak. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama

adalah juga suatu kebudayaan, karena dengan beragama manusia dapat

hidup dengan senang. Karenanya saya katakana agama adalah suatu bagian

daripada kebudayaan…8.

Pada pandangan lain tentang kitab suci, jika kitab suci dibicarakan dan

dipahami sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan kepada seorang nabi,

maka sesungguhnya harus ada batas-batas yang dapat diterangkan secara

6 Koentjaraningrat, 1964, Pengantar Antropologi, UI, Jakarta, hlm.79.

7 Ibid. hlm. 79.

8 Faisal Ismail,1998, op.cit., hlm.36.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 6 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

jelas, kapan wahyu itu sebagai wahyu yang datang dari Tuhan dan

sepenuhnya bersandar kepada Tuhan, dan kapan wahyu itu kemudian

dituliskan, diajarkan dan dijelaskan oleh seorang nabi kepada umatnya, yang

sepenuhnya bersandar pada realitasnya sebagai seorang nabi, karena

bagaimana pun ,seorang nabi itu sesungguhnya manusia juga [al-Qur’an,

18:110]9.

Jadi pada saat wahyu itu disampaikan kepada seorang nabi, maka

wahyu itu masih bersandar kepada Tuhan, akan tetapi setelah wahyu itu

dituliskan dalam dereta huruf dan susunan kalimat, diajarkan, dijelaskan dan

kemudian dipraktikkan dalam kehidupan, maka wahyu dengan segala isi dan

ajarannya itu “telah menyejarah, dan kerananya telah memasuki wilayah

kebudayaan”. Oleh karena itu, kebenaran wahyu sebagai ayat-ayat Tuhan,

yang “bersifat mutlak dan tunggal”, hanya dapat ada dan berada secara

internal dan telah terkandung dalam kitab suci itu sendiri. Akan tetapi ketika

wahyu itu dituliskan, dipahami dan diajarkan serta dipraktikkan dalam

kehidupan bersama, maka kebenaran pemehaman, pemikiran dan praktik

hidup menjalankan ajaran yang terkandung dalam wahyu itu tidaklah bersifat

mutlak, dan di dalamnya terdapat adanya pluralitas, perubahan dan

penggeseran10.

Pasa sisi lain, ada pandangan yang menyatakan bahwa pandangan

para sarjana tersebut telah “terperangkap” dan “terjebak” ke dalam

“generalisasi”, semacam pencampuradukan semua agama sebagai bagian

dari kebudayaan [termasuk kepercayaan, moral dan hukum yang bersumber

dari agama-agama].

2. Agama Bukan-Wahyu Merupakan Bagian dari Kebudayaan

Secara factual, agama di dunia ini banyak, beraneka ragam, berbedabeda

dan mempunyai asal-usul dan sejarah sendiri-sendiri. Hal ini

merupakan realitas dunia yang tak dapat dielakkan . Artinya, semua agama

yang ada di dunia ini beraneka ragam, berbeda-beda asal-usul dan

sejerahnya, ditinjau dari segi sumbernya dapat dikategorikan menjadi dua

kelompok: Pertama, agama “alamiyah” [dalam perpustakaan Barat disebut

“natural religion”], adalah agama ciptaan atau hasil karya manusia.

Dinamakan pula agama “filsafat” , agama bumi, “din al-ardh”, agama “ra’yu”,

non-revealed religion, din at-thabi’I, dan agama budaya. Kedua, agama

samawiyah” [revealed religion], yakni agama yang diwahyukan Allah kepada

9 Musa Asy’arie, 1999, op.cit., hlm. 78.

10 Ibid. hlm. 78.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 7 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

para Nabi dan Rasul-Nya. Juga disebut “agama wahyu, agama langit, dan

agama profetis”.

Untuk memahamai perbedaan lebih lengkap dari klasifikasi agama

tersebut, adabaiknya kita mempelajari ciri pokok dari kedua jenis agama

tersebut. Ahmad Abdullah al-Masdoosi, merumuskan perbedaan antara

agama wahyu [agama samawiyah] dengan agama bukan wahyu [agama

budaya] sebagai berikut: Pertama, agama wahyu berpokok kepada konsep

“ke-Esaan Tuhan”, sedangkan agama bukan wahyu tidak. Kedua, agama

wahyu beriman kepada para nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.

Ketiga, bagi agama wahyu sumber utama tuntunan dan ukuran baik buruk

adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan agama bukan wakyu kitab

suci tidak esensial. Keempat, semua agama wahyu lahir di Timur Tengah,

sedangkan agama bukan-wahyu, kecuali “paganisme”, lahir di luar area

tersebut. Kelima, agama wahyu timbul di daerah-daerah yang secara

histories di bawah pengaruh ras Semitik, walaupun kemudian agama tersebut

berhasil menyebar ke luar area pengaruh Semitik. Sebaliknya agama bukanwahyu

lahir di luar area semitik. Keenam, sesuai dengan ajaran dam atau

historisnya, maka agama wahyu adalah agama “missionary” [agama da’wah].

Agama bukan wahyu bukanlah agama missionary. Ketujuh, ajaran agama

wahyu memeberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya.

Para pemeluknya berpegang, baik kepada aspek duniawi atau aspek spiritual

dari hidup ini. Agama bukan-wahyu tidak demikian11.

Ciri-ciri perbedaan antara agama wahyu dan agama bukan-wahyu, juga

dikemukakan oleh Sidi Gazalba, dengan ciri-ciri pokok masing-masing agama

tersebut, adalah : [1] Agama bukan-wahyu, tidak disampaikan oleh Nabi dan

rasul Tuhan, dan tidak dapat dipastikan lahirnya. [2] Tidak memiliki kitab suci

yang diwariskan oleh Nabi/Rasul Tuhan. Kalau ada kitab suci yang

diwariskan penganjurnya, isi kitab itu mengalami perubahan-perubahan

dalam perjalanan sejarah agama itu. [3] Sistem merasa dan berpikir inheren

dengan system merasa dan berpikir tiap segi kehidupan kebudayaan

masyarakat. [4] Berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat yang

menganutnya. [5] Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tidak tahan

terhadap kritik akal. [6] Konsep ketuhanannya bukan serba esa Tuhan12..

Berdasarkan ciri-ciri agama budaya [bukan-wahyu] di atas, Sidi Gazalba

mengemukan cirri-ciri agama samawi [agama wahyu], adalah : [1]

Disampaikan oleh Rasul Tuhan [utusan Tuhan], dengan pasti dapat

11 Ahmad Abdullah al-Masdoosi, 1962, Living Religions of the World: a Socio-political Study, English

Renderring by Zavar Ishaq Ansari [Karachi: Begum Aisha Bawany Wakf, hlm.11-12.

12 Sidi Gazalba, 1976, Sistematika Filsafat [buku I], Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 82-83.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 8 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

dinyatakan waktu lahirnya. [2] Memiliki kitab suci yang diwariskan Rasul

Tuhan dengan isi yang serba tetap. [3] Sistem merasa dan berfikirnya tidak

inheren dengan system merasa dan berpikir tiap segi kehidupan [facet

kebudayaan] masyarakat yang menganutnya, bahkan dikehendaki sistem

merasa dan berfikir tiap kehidupan mengarah kepada system berfikir dan

merasa agama. [4] Tak berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat

yang menganutnya, sebaliknya justru mengubah mentalitas penganutnya. [5]

Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tahan terhadap kritik akal. [6]

Konsep ketuhanannya serba Esa Tuhan Murni.

Klasifikasi agama ke dalam dua jenis [agama alamiyah dan agama

samawiyah] dan ciri-ciri pokok yang membedakannya secara tajam,

dimaksudkan untuk “menghindari generalisasi” dan pencampuradukan serta

penyamarataan semua agama. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa

agama tidak merupakan genus yang mempunyai species, akan tetapi dengan

klasifikasi dua gejala alamiyah yang disebut agama budaya yang timbul dari

kehidupan manusia sendiri dan agama samawiyah atau wahyu yang

diberikan Allah swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.

3. Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian Kebudayaan

Berbeda dari pola pemikiran di atas, terdapat kelompok pemikir yang

mengatakan bahwa “agama wahyu” bukan merupakan bagian kebudayaan.

Kelompok ini berpendapat bahwa “agama samawi” dan kebudayaan adalah

berdiri sendiri-sendiri. Jadi “agama samawi dan kebudayaan tidak saling

mencakup”. Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa: Agama samawi dan

budaya tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan

bagian daripada yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara

keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan

dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula

terlihat dalam hubungan erat antara suami dan isteri, yang dapat melahirkan

putera, namun suami bukan merupakan bagian dari si isteri, demikian pula

sebaliknya”13.

Apabila kita mengikuti pandangan dan pendirian-pendirian seperti

diketengahkan di atas, maka pandangan Saifuddin Anshari dapat diterima.

Dan atas dasar itu, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa agama Islam sebagai

agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan [Islam], demikian

pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama

13 Endang Saifuddin Anshari, 1980, Agama dan Kebudayaan, Cet. Ke-1, Bina Ilmu, Surabaya,hlm. 46.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 9 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Islam. Artinya antara agama dan kebudayaan masing-masing berdiri sendirisendiri,

namun di sisi lain terdapat kaitan erat antara keduanya14.

Hubungan erat itu adalah Islam merupakan dasar, asas, pengendali,

pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam

pengembangan dan perkembangan cultural. Agama [Islam]-lah yang menjadi

pengawal, pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya,

sehingga ia menjadi “kebudayaan yang bercorak dan beridentias Islam”.

Begitu pula berhubungan agama Islam dan kebudayaan Islam itu berdiri

sendiri, artinya ada saling paut dan saling kait yang erat antara keduanya,

maka keduanya dapat dibedakan dengan jelas dan tegas. Shalat, misalnya

adalah unsure [ajaran] agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan

manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan

manusia, dan juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya

kebudayaan. Untuk tempat shalat, kemudian orang membangun masjid

dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, bangunan masjid itulah

kebudayaan. Sedangkan, seluruh segi ajaran Islam menjadi tenaga

penggerak bagi penciptaan budaya15.

Menurut Faisal Ismail [1998: 44], bahwa pandangan dan pemahaman

yang kurang proporsional seperti yang dikemukakan di atas, berasal dari

sarjana-sarjana Islam, agaknya banyak dipengaruhi cara berpikir sarjana

bukan Islam terutama pandangan yang dikemukakan oleh H.A.R. Gibb yang

mengatakan, bahwa : “Islam is indeed much more than a system of theology:

it is a complete civilization”. Kata-kata Gibb di atas, oleh M.Natsir

diterjemahkan: “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja;

dia itu adalah satu kebudayaan yang lengkap”. Kemudian, dengan kata-kata

yang agak berbeda, M. Natsir menerjemahkan pula: “Islam lebih dari satu

sistem peribadatan; ia adalah satu kebudayaan yang lengkap”. Dari

pandangan ini, Endang Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa kata-kata Gibb

dan terjemahan M. Natsir, Endang sangat menaruh keberatan dan

memberikan kritik. Keberatan dan kritik Endang Saifuddin Anshari terhadap

terjemahan M. Natsir adalah sebagai berikut: ….tidaklah tepat

menerjemahkan a system of theology tidak sama dengan agama atau

peribadatan; teology adalah suatu studi [jadi: ilmu] tentang salah satu aspek

agama, yaitu : credo, creed atau aqidah. Stdu tentang agama [atau tentang

bagian dari pada agama] tidaklah sama dengan agama itu sendiri16.

14 Faisal Ismail,1998, op.cit., hlm.43.

15 Ibid, hlm. 44.

16 Endang Saifuddin Anshari, 1980, op.cit., hlm.50.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 10 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Terhadap kata-kata Gibb [Islam is indeed much more than a system of

theology; it is a complete civilization], Endang Saifuddin , menolak kata-kata

Gibb itu dengan mengajukan argumentasinya: Islam adalah wahyu. Jadi

bukan satu system teology, karena logi [=ilmu, science, studies]. Dan Islam

bukanlah ilmu, Karen ilmu adalah salah satu cabang daripada kebudayaan,

dan ciptaan manusia]. Sekali lagi menurutnya Islam adalah wahyu, jadi

samasekali bukanlah civilization walaupun pakai ajektif “complete” sekalipun!

Karena menurut kamus dan ensiklopedia manapun civilization itu adalah

“man-made”, karya manusia, ciptaan insani” [Endang Saifuddin Anshari,

1980:50]. Kemudian, dengan alas an ini Endang Saifuddin Anshari,

mengatakan lebih lanjut, bahwa “Pendapat Gibb termaktub di atas banyak

sekali diambil oper begitu saja oleh orang-orang Islam sendiri, tanpa

dipikirkan konsekuensinya lebih jauh! …Hal ini dapat saja dipahami, bahwa

kesimpulan seperti itu dapat keluar dari seorang “Islamolog” bukan muslim

seperti H.A.R. Gibb [Endang Saifuddin Anshari, 1980:50]. Pandangan ini

tidak banyak berbeda dengan kata-kata dan kesimpulan Gibb di atas adalah

pandangan G.E. Von Grunebaum yang dalam salah satu pengantar katanya

tentang “Profil Peradaban Islam”, mangatakan, bahwa: “Dalam

perkembangan selanjutnya, Islam berkembang menjadi suatu peradaban”

[Faisal Ismail,1998:45]. Terhadap pandangan G.E. Von Grunebaum di atas,

bahwa Islam tidak pernah berkembang menjadi peradaban dan atau

kebudayaan.

Jika, diteliti secara seksama pandangan G.E. Von Grunebaum tersebut,

mengandung pengertian bahwa pada mulanya Islam itu agama, kemudian

dalam pertumbuhan selanjutnya berkembang menjadi peradaban. Faisal

Ismail, menyatakan ini tidak benar! Islam selamanya adalah agama dari sejak

diturunkan sampai sekarang dan sampai hari akhir. Islam tidak pernah

berkembang menjadi peradaban tetapi Islamlah yang membentuk dan

menumbuhkan peradaban atau kebudayaan dalam masyarakat penganutnya

[Faisal Ismail,1998:46].

Suatu hal yang perlu mendapatkan penekanan adalah bahwa agama

Islam dan kebudayaan Islam adalah berbeda, artinya masing-masing berdiri

sendiri [agama=wahyu; kebudayaan = produk akal]. Tentu saja harus ada

saling kait antara keduanya agar tetap menjadi kebudayaan Islam. Tetapi

lain halnya dengan agama-agama suku [agama alamiah yang dianut oleh

suku-suku tertentu], perpaduan antara “agama dan kebudayaan” sangat erat

sekali, bahkan sulit dipisahkan, artinya kebudayaan adalah sama dengan

agama [contoh; agama Hindu di Bali]17.

17 Faisal Ismail,1998, op.cit., hlm.46.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 11 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Dalam agama-agama suku, orang melakukan sesuatu aktivitas,

dilakukan dengan “mantra” dan “sajian”. Oleh karena itu, dalam agamaagama

suku, kultur [kebudayaan] dalam setiap seginya sangat erat dan tak

terpisahkan dengan ibadat [cultus]. Sebagai contoh, amati kehidupan

keagamaan Hindu di masyarakat Bali, di mana “antara agama, adat-istiadat,

tradisi, seni budaya sulit dibedakan dan dipisahkan dari ritual agama, karena

semuanya lebur dalam satu kesatuan yang utuh dan padu [terintegrasi].

Upacara peribadatan, tabuhan, nyanyian, adat istiadat dan tradisi serta

kesenian saling berkait secara utuh. Upacara-upacara keagamaan disertai

dengan sajian, tarian, nyanyian, seni dan sebagainya. Di sini dapat dikatakan

bahwa kebudayaan sama dengan agama, artinya agama tidak dapat

dipisahkan dari kebudayaan, karena keduanya menyatu.

Dalam Islam, unsur-unsur kebudayaan “terlarang masuk ke dalam

[ajaran] agama”. Misalnya saja, orang dapat melakukan shalat langsung

kepada Allah tanpa disertai media nyanyian, tarian, saji-sajian, dan unsurunsur

kebudayaan lainnya. Dengan demikian, agama Islam tetap terpelihara

dan terjaga kemurnian dan keasliannya, tidak tercampuri oleh adanya anasiranasir

kebudayaan yang hendak menyusup dan disusupkan ke dalam

agama. Maka, setiap unsure kebudayaan yang hendak menyusup dan

disusupkan ke dalam agama ia pasti ditolak dan akan diketahui karena

agama Islam dapat dibedakan dengan hal-hal yang bukan agama18.

Y.B. Sariyanto Siswosoebroto [seorang Katolik yang sudah masuk

Islam], menyatakan “kalau kita mengikuti dengan cermat perubahanperubahan

yang terdapat dalam Gereja, maka keseimpulannya bahwa

agama sama dengan kebudayaan akan menjadi jelas. Sebagai contoh, beliau

mengatakan bahwa sebelum Konsili Vatikan II, Kurban Missa [kebatinan]

memakai bahasa Latin, sedangkan sesudah Konsili Vatikan II, dengan sedikit

demi sedikit Missa memaakai bahasa setempat. Kesenian daerah masuk ke

dalam Kurban Missa, seperti gamelang, sendratari dan lain-lain, sehingga

orang ke Gereja bukan saja mengikuti Kurban Missa tetapi juga menikmati

sendratari. Penemuan-penemuan dan percobaan-percobaan baru

dimasukkan ke dalam liturgy [kebaktian]. Misalnya: Gereja Pugeran

Yogyakarta, Pastor dengan memakai pakaian kejawen lengkap dengan keris

mempersembahkan Missa. Tanda pengenal bahwa dia seorang Pastor hanya

pada stola yang dikalungkan ke lehernya.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka kita dapat

bertanya : “Apakah memang agama itu sama dengan kebudayaan” yang

18 Ibid. Hlm.47.

FM-UII-AA-FKA-07/R1

MATERI/BAHAN MATA KULIAH

Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA

Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III

Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12

Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008

Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI

Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 12 dari 12

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

penghayatannya harus dikembangkan dengan kedaan zaman? Dalam agama

Islam cara orang shalat dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang

tetap sama. Unsur-unsur kebudayaan boleh dimasukkan dalam agama kalau

itu hanya menyangkut dengan masalah teknis tanpa merubah inti agama itu

sendiri19.

III. LEMBAR KERJA

Pada lembar kerja ini, mahasiswa diminta untuk menjawab atau

memecahkan masalah pada akhir kuliah, sebagai berikut. Dari pandangan

yang dikemukakan di atas, apakah pandangan saudara terhadap pemikiranpemikiran

tersebut. :

1. apakah agama itu sama dengan kebudayaan,

2. apakah agama bagian dari kebudayaan,

3. apakah kebudayaan bagian dari agama.

Sebab pemikiran yang dicetuskan dan dipopulerkan oleh Sidi Gazalba,

bahwa agama dan kebudayaan Islam merupakan bagian dari “Din Islam”

[agama Islam]. Walaupun pemikiran Sidi Gazalba ini dikritik atau ditentang

banyak kalangan.

Silahkan saudara mencoba mendiskusikan dalam “kelompok dikusi”

kecil dan berusaha memberikan argumentasi-argumentasi atau jawaban

terhadap permasalahan tersebut di atas, dalam diskusi kelas.

19 Y.B. Sariyanto Siswosoebroto, 1978, “Kebatinan dan Agama Kristen” dalam harian Masa Kni [No.247

tahun XII, 8 Februari 1978], hlm. 1-4]

krisnawan adi kusuma

rabu, 30 desember 2009

Hubungan Agama dengan Masyarakat

Telah kita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya.Hal ini membuktikan bahwa agama mempunyai hubungan yang erat dengan budaya sebagai patokan utama dari masyarakat untuk selalu menjalankan perintah agama dan melestarikan kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut mempunyai andil yang besar dalam melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang menjalankan semua perintah agama dan ikut menjaga budaya agar tetap terpelihara.
Selain itu ada juga hubungan lainnya,yaitu menjaga tatanan kehidupan.Maksudnya hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain.
Namun sekarang ini agamanya hanyalah sebagi symbol seseorang saja. Dalam artian seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala perintah agama tersebut. Dan di Indonesia mulai banyak kepercayaan-kepercayaan baru yang datang dan mulai mengajak/mendoktrin masyarakat Indonesia agar memeluk agama tersebut. Dari banyaknya kepercayaan-kepercayaan baru yang ada di Indonesia, diharapkan pemerintah mampu menanggulangi masalah tersebut agar masyarakat tidak tersesaat di jalannya. Dan di harapkan masyarakat Indonesia dapat hidup harmonis, tentram, dan damai antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya.

krisnawan adi 03.49

Iwan Joeyz (Sekretaris UKPK)

1. Pengertian Agama

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.

Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)

Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.

Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.

Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.

Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.

Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.

Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:

“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75)

Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.

2. Agama dan Budaya

Budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.

Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).

Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.

Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.

Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.

3. Agama dan budaya Indonesia

Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)

Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.

Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.

Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.

Lapisankeempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.

Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.

Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.

Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).

Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.

4. Agama-agama sebagai aset bangsa

Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi pengembangan budaya Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama sebagai golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi karena hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu mensyukurinya. Lebih buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa yang diluar kita adalah jahat dan patut dicurigai. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-monumen budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:

1. Mengembangkan religius literacy.

Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan religious literacy, yaitu sikap terbuka terhadap agama lain yaitu dengan jalan melek agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta huruf dalam pendidikan. Kitaakui bahwa selama ini penganut agama buta huruf terhadap agama diluar yang dianutnya. Jadi perlu diadakan upaya pemberantasan buta agama, Karena buta terhadap agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik tanpa menh\ghiraukan bahwa ada yang baik dari agama lain. Kalau orang melek agama, maka orang dapat memahami ketulusan orang yang beragama dalam penyerahan diri kepada Allah dalam kesungguhan. Sikap melek agama ini membebaskan umat beragama dari sikap tingkah laku curiga antara satu dengan yang lain. Para pengkhotbah dapat berkhotbah dengan kesejukan dan keselarasan tanpa bertendensi menyerang dan menjelekkan agama lain. (Budi Purnomo, 2003).

2. Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama.

Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang legacy spiritual dari setiap agama di Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana bersama menghadapi krisis-krisis Indonesia yang multi dimensi ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah masalah korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy yang tersebut sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal dasar dalam menghadapi masal-masalah tersebut, tetapi belum pernah ada suatu wacana bersama-sama untuk melahirkan suatu pendapat bersama yang bersifat operasional.

Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.

KEPUSTAKAAN

Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.

Budi Purnomo, Alays, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.

Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990

O’Dea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1984.

Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1982.

Tule, Philipus, Wilhelmus Julei, ed Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, Flores:Penerbit Nusa Indah, 1994.

Wach, Jajachim, Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV Rajawali, 1984.

Prev: Kapitalisme
Next:
Hubungan Agama dan Budaya dalam Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar