Selasa, 26 Oktober 2010
Jumat, 08 Oktober 2010
BAPAK PRAMUKA DUNIA
Robert Baden-Powell.
1st Baron Baden-Powell
Nickname | B-P |
Place of birth | |
Place of death | |
Allegiance | |
Years of service | 1876 – 1910 |
Rank | |
Unit | 13th Hussars in India (1876); |
Commands | Chief of Staff, Second Matabele War (1896-97); 5th Dragoon Guards in India (1897) |
Battles/wars | Anglo-Ashanti Wars; Second Matabele War; Siege of Mafeking; Second Boer War |
Awards | Ashanti Star, 1895[1]; Matabele Campaign, British South Africa Company Medal, 1896[2]; Queen's South Africa Medal, 1899[3]; King's South Africa Medal, 1902[4]; Boy Scouts Silver Buffalo Award, 1926[5]; World Scout Committee Bronze Wolf, 1935[6]; Order of Merit, 1937; Order of St Michael and St George; Royal Victorian Order; Order of the Bath |
Other work | Founder of the international Scouting movement; writer; artist |
Rabu, 06 Oktober 2010
ANUGRAH ILLAHI
Minggu, 03 Oktober 2010
Apakah agama itu kebudayaan? Jawaban pertanyaan ini telah menimbulkan berbagai perdebatan, suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang dating dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Maka dalam soal ini, menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaaN”
1. Kompetensi Dasar
Setelah perkuliahan berakhir, mahasiswa dapat mengetahui hubungan agama
dengan kebudayaan kebudayaan
2. Materi
Hubungan Agama dengan Kebudayaan
a. Apakah Agama Merupakan Bagian Kebudayaan
b. Agama Bukan-wahyu Merupakan Bagian dari Kebudayaan
c. Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian Kebudayaan
3. Indikator Pemcapaian
Setelah perkuliahan berakhir, mahasiswa dapat :
a. mampu menjelaskan apakah agama merupakan bagian kebudayaan,
b. mampu menjelaskan agama bukan-wahyu merupakan bagian dari
kebudayaan,
c. mampu menjelaskan agama samawi bukan merupakan bagian kebudayaan
4. Sumber
Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi
Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta.
Musa Asy’ari, 1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan, LESFI, Yogyakarta.
Ahmad Abdullah al-Masdoosi, 1962, Living Religions of the World: a Sociopolitical
Study, English Renderring by Zavar Ishaq Ansari [Karachi: Begum
Aisha Bawany Wakf.
Koentjaraningrat, 1964, Pengantar Antropologi, UI, Jakarta.
Sidi Gazalba, 1976, Sistematika Filsafat [buku I], Bulan Bintang, Jakarta.
Y.B. Sariyanto Siswosoebroto, 1978, “Kebatinan dan Agama Kristen” dalam
harian Masa Kni [No.247 tahun XII, 8 Februari 1978].
Endang Saifuddin Anshari, 1980, Agama dan Kebudayaan, Cet. Ke-1, Bina
Ilmu, Surabaya.
5. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah “Rolling Ide”. Skenario kelas:
dengan waktu 100 menit, langkah-langkah yang dilakukan, sebagai berikut :
a. Materi kuliah telah diberikan kepada mahasiswa 1 [satu] minggu sebelum
perkuliahan. Mahasiswa diharuskan untuk membaca dan memahami
materi tersebut agar memudahkan pada saat kegiatan belajar dengan
pendekatan rolling ide.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 2 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
b. Langkah-langkah yang dilakukan dengan pendekatan “Rolling Ide”,
sebagai berikut :
1] Langkah pertama, Dosen memberikan kuliah dengan pendekatan
Interactive Lecturing antara 10 s/d 15 menit.
2] Langkah kedua, dosen membagi mahasiswa dalam 4 [empat]
kelompok dengan teknis atau cara menghitung 1 – 4.
3] Langkah ketiga, dosen menjelaskan global materi dan kemudian
mengajukan 4 [empat] masalah untuk dibahas masing-masing
kelompok.
4] Langkah keempat, menempelkan kertas plano didinding dengan
membagikan kertas plano tersebut kedalam empat kotak.
5] Langkah kelima, masing-masing kelompok berdiskusi dan menuliskan
hasil dikusinya dikertas plano pada kolom yang telah disediakan.
6] Langkah keenam, mulai rolling yaitu kelompok 1 [satu] mencermati
pandangan kelompok 2 [dua] dan mendiskusikan, kemudian menulis
pandangan meraka dikertas plano pada kotak yang telah disediakan,
begitu juga kelompok 2,3, dan 4 juga melakukan rolling, sehingga
empat kotak pada kertas plano tersebut terisi semua.
7] Langkah ketujuh, semua kelompok dipertemukan dalam diskusi kelas
dan meminta pendapat dari masing-masing kelompok.
8] Langkah kedelapan, adalah menutup kuliah. Maka, sebelum menutup
perkuliahan, doronglah semua mahasiswa untuk menyambut dengan
applaus atas “diskusi” yang telah dilakukan, setelah itu tutup kuliah
dengan membaca do’a [ waktu 15 menit].
6. Lembar Kegiatan Pembelajaran
a. Pahami dan kuasai materi ini dengan baik, agar pada waktu “rolling ide”
di kelas saudara tidak mengalami kesulitas.
b. Mulailah memotivasi diri untuk membaca, dari yang mudah, dan mulai
membaca sekarang.
c. Bacalah skenario pada petunjuk umum, sehingga memudahkan
saudara dalam aktivitas pembelajaran di kelas.
7. Evaluasi
a. Setelah kegiatan belajar berakhir, mahasiswa diminta mengerjakan test
[post test], sehingga dapat diketahui seberapa jauh Tujuan Pembelajaran
dalam pembahasan materi tersebut dapat tercapai.
b. Apabila mahasiswa dapat menjawab 70% dari soal-soal test dengan betul,
berarti mahasiswa telah mencapai Tujuan Pembelajaran dalam
pembahasan materi yang disampaikan dosen.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 3 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
II. MATERI KULIAH
HUBUNGAN AGAMA DENGAN KEBUDAYAAN
1. Agama Merupakan Bagian Kebudayaan
Apakah agama itu kebudayaan? Jawaban pertanyaan ini telah
menimbulkan berbagai perdebatan, suatu pihak menyatakan bahwa agama
bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa
agama adalah kebudayaan1. Kelompok orang yang tidak setuju dengan
pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama
itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang
dating dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian,
sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan,
karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Memang
benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang
dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan
manusia, dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri,
baik dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual” untuk memahaminya,
maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan.
Maka dalam soal ini, menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama
sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau
tidak mau menjadi soal kebudayaa”2 .
Para sarjana-sarjana, terutama sarjana Barat dan sebagian sarjana dan
budayawan Indonesia tidak pilih-pilih dan menyamaratakan begitu saja
semua agama sebagai bagian dari kebudayaan. Para sarjana tersebut,
terutama sarjana Barat nampaknya melihat agama yang banyak dan
beraneka-ragam di dunia ini sebagai hal yang sama dan pada dasarnya
sama. Dalam pemikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua
agama itu pada dasarnya adalah sama dan merupakan “fenomena atau
gejala sosial” yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia.
Menurut mereka, dalam kehidupan manusia terdapat aspek umum yang
bernama agama. Genus agama itu mengandung “species” yang bermacammacam,
diantaranya adalah agama Islam3.
Sebenarnya, apabila ditarik garis batas antara agama dan kebudayaan
itu adalah “garis batas Tuhan dan manusia” , maka wilayah agama dan
1 Musa Asy’ari, 1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan, LESFI, Yogyakarta,hlm.75.
2 Ibid. hlm.75.
3 Faisal Ismail,1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm. 34
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 4 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
wilayah kebudayaan itu pada dasarnya tidak “statis”, tetapi “dinamis”, sebab
Tuhan dan manusia berhubungan secara dialogis, di mana manusia menjadi
“khalifah” [wakil]-Nya di bumi. Maka pada tahapan ini, adakalanya antara
“agama” dan “kebudayaan” menempatii wilayah sendiri-sendiri, dan
adakalanya keduanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu yang disebut
dengan “wilayah kebudayaan agama”, seperti dapat di gambarkan dalam
bagan, sebagai berikut [lihat gambar: 1]4.
Agama sesungguhnya untuk
manusia, dan keberadaan agama dalam
praktik hidup sepenuhnya berdasar pada
kapasitas diri manusia, bukan sebaliknya
manusia untuk agama. Oleh karena itu,
agama untuk manusia, maka agama pada
hakekatnya menerima adanya pluralitas
dalam memahami dan menjalankan
ajarannya [Musa Asy’arie, 1999:76]. Jika
agama untuk manusia, maka agama
sesungguhnya telah memasuki wilayah
kebudayaan dan menyejarah menjadi
kebudayaan dan sejarah agama adalah
sejarah kebudayaan agama yang menggambarkan dan menerangkan
bagaimana terjadi proses pemikiran, pemahaman dan isi kesadaran manusia
tentang wahyu, doktrin dan ajaran agama, yang kemudian dipraktikkan dalam
realitas kehidupan manusia dan dalam sejarah perkembangan agama itu,
sehingga “agama yang menyejarah telah sepenuhnya menjadi wilayah
kebudayaan, karena tanpa menjadi kebudayaan, maka sesungguhnya
sejarah agama-agama itu tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah
dituliskan”5.
Di kalangan sarjana Barat, penganjur kelompok ini adalah Emile
Durkheim [1859-1917], seorang sarjana Perancis, yang agaknya ikut
mempengaruhi pemikiran sebagian sarjana Indonesia. Salah seorang sarjana
Indonesia Koentjaraningrat, yang menurut pengakuannya sendiri telah
terpengaruh oleh konsep Emil Durkheim. Dengan menggunakan istilah
“religie” dan bukan “agama” [karena menurut beliau lebih netral],
Koentjaraningrat berpendapat bahwa religie merupakan bagian dari
kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat ini didasarkan kepada konsep
Durkheim mengenai dasar-dasar religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap
4 Musa Asy’arie, 1999, hlm. 76.
5 Ibid. hlm. 76-77.
K
KA A
Gambar 1 :
K = Kebudayaan
A = Agama
KA = Kebudayaan dan
Agama
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 5 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
relegi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: [1]
Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. [2] Sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib. [3]
Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan
Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.
[4] Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut sistem kepercayaan tersebut.
Koentjaraningrat, menyimpulkan bahwa “komponen sistem
kepercayaan, sistem upacara dan kelompok-kelompok religius yang
menganut sistem kepercayaan dan menjalankan upacara-upacara religius,
jelas merupakan ciptaan dan hasil akan manusia. Adapun komponen
pertama, yaitu emosi keagamaan, digetarkan oleh cahaya Tuhan. Relegi
sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya
Tuhan yang mewarnainya dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian
dari kebudayaan6.
Pendirian Koentjaraningrat di atas tercermin dalam teori culturaluniversals-
nya, di mana beliau memasukkan religi sebagai isi [bagian] dari
kebudayaan, yaitu: [1] Peralatan dan perlengkapan hidup manusia [pakaian,
perumahan, alat-alat rumahtangga, senjata, alat-alat produksi, alat transport,
dan lain sebagainya]. [2] Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi
[pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan lain
sebagainya]. [3] Sistem kemasyarakatan [sistem kekerabatan, organisasi
politik, sistem hukum, sistem perkawinan]. [4] Bahasa [lisan maupun tertulis].
[5] Keseniaan [seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain sebagainya]. [6]
Ilmu pengetahuan. [7] Relige7.
Muhammad Hatta, mengatakan bahwa agama merupakan bagian dari
kebudayaan: “Kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada suatu bangsa.
Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama
itu suatu ciptaan manusia atau tidak. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama
adalah juga suatu kebudayaan, karena dengan beragama manusia dapat
hidup dengan senang. Karenanya saya katakana agama adalah suatu bagian
daripada kebudayaan…8.
Pada pandangan lain tentang kitab suci, jika kitab suci dibicarakan dan
dipahami sebagai wahyu dari Tuhan yang diturunkan kepada seorang nabi,
maka sesungguhnya harus ada batas-batas yang dapat diterangkan secara
6 Koentjaraningrat, 1964, Pengantar Antropologi, UI, Jakarta, hlm.79.
7 Ibid. hlm. 79.
8 Faisal Ismail,1998, op.cit., hlm.36.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 6 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
jelas, kapan wahyu itu sebagai wahyu yang datang dari Tuhan dan
sepenuhnya bersandar kepada Tuhan, dan kapan wahyu itu kemudian
dituliskan, diajarkan dan dijelaskan oleh seorang nabi kepada umatnya, yang
sepenuhnya bersandar pada realitasnya sebagai seorang nabi, karena
bagaimana pun ,seorang nabi itu sesungguhnya manusia juga [al-Qur’an,
18:110]9.
Jadi pada saat wahyu itu disampaikan kepada seorang nabi, maka
wahyu itu masih bersandar kepada Tuhan, akan tetapi setelah wahyu itu
dituliskan dalam dereta huruf dan susunan kalimat, diajarkan, dijelaskan dan
kemudian dipraktikkan dalam kehidupan, maka wahyu dengan segala isi dan
ajarannya itu “telah menyejarah, dan kerananya telah memasuki wilayah
kebudayaan”. Oleh karena itu, kebenaran wahyu sebagai ayat-ayat Tuhan,
yang “bersifat mutlak dan tunggal”, hanya dapat ada dan berada secara
internal dan telah terkandung dalam kitab suci itu sendiri. Akan tetapi ketika
wahyu itu dituliskan, dipahami dan diajarkan serta dipraktikkan dalam
kehidupan bersama, maka kebenaran pemehaman, pemikiran dan praktik
hidup menjalankan ajaran yang terkandung dalam wahyu itu tidaklah bersifat
mutlak, dan di dalamnya terdapat adanya pluralitas, perubahan dan
penggeseran10.
Pasa sisi lain, ada pandangan yang menyatakan bahwa pandangan
para sarjana tersebut telah “terperangkap” dan “terjebak” ke dalam
“generalisasi”, semacam pencampuradukan semua agama sebagai bagian
dari kebudayaan [termasuk kepercayaan, moral dan hukum yang bersumber
dari agama-agama].
2. Agama Bukan-Wahyu Merupakan Bagian dari Kebudayaan
Secara factual, agama di dunia ini banyak, beraneka ragam, berbedabeda
dan mempunyai asal-usul dan sejarah sendiri-sendiri. Hal ini
merupakan realitas dunia yang tak dapat dielakkan . Artinya, semua agama
yang ada di dunia ini beraneka ragam, berbeda-beda asal-usul dan
sejerahnya, ditinjau dari segi sumbernya dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok: Pertama, agama “alamiyah” [dalam perpustakaan Barat disebut
“natural religion”], adalah agama ciptaan atau hasil karya manusia.
Dinamakan pula agama “filsafat” , agama bumi, “din al-ardh”, agama “ra’yu”,
non-revealed religion, din at-thabi’I, dan agama budaya. Kedua, agama
“samawiyah” [revealed religion], yakni agama yang diwahyukan Allah kepada
9 Musa Asy’arie, 1999, op.cit., hlm. 78.
10 Ibid. hlm. 78.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 7 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
para Nabi dan Rasul-Nya. Juga disebut “agama wahyu, agama langit, dan
agama profetis”.
Untuk memahamai perbedaan lebih lengkap dari klasifikasi agama
tersebut, adabaiknya kita mempelajari ciri pokok dari kedua jenis agama
tersebut. Ahmad Abdullah al-Masdoosi, merumuskan perbedaan antara
agama wahyu [agama samawiyah] dengan agama bukan wahyu [agama
budaya] sebagai berikut: Pertama, agama wahyu berpokok kepada konsep
“ke-Esaan Tuhan”, sedangkan agama bukan wahyu tidak. Kedua, agama
wahyu beriman kepada para nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.
Ketiga, bagi agama wahyu sumber utama tuntunan dan ukuran baik buruk
adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan agama bukan wakyu kitab
suci tidak esensial. Keempat, semua agama wahyu lahir di Timur Tengah,
sedangkan agama bukan-wahyu, kecuali “paganisme”, lahir di luar area
tersebut. Kelima, agama wahyu timbul di daerah-daerah yang secara
histories di bawah pengaruh ras Semitik, walaupun kemudian agama tersebut
berhasil menyebar ke luar area pengaruh Semitik. Sebaliknya agama bukanwahyu
lahir di luar area semitik. Keenam, sesuai dengan ajaran dam atau
historisnya, maka agama wahyu adalah agama “missionary” [agama da’wah].
Agama bukan wahyu bukanlah agama missionary. Ketujuh, ajaran agama
wahyu memeberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya.
Para pemeluknya berpegang, baik kepada aspek duniawi atau aspek spiritual
dari hidup ini. Agama bukan-wahyu tidak demikian11.
Ciri-ciri perbedaan antara agama wahyu dan agama bukan-wahyu, juga
dikemukakan oleh Sidi Gazalba, dengan ciri-ciri pokok masing-masing agama
tersebut, adalah : [1] Agama bukan-wahyu, tidak disampaikan oleh Nabi dan
rasul Tuhan, dan tidak dapat dipastikan lahirnya. [2] Tidak memiliki kitab suci
yang diwariskan oleh Nabi/Rasul Tuhan. Kalau ada kitab suci yang
diwariskan penganjurnya, isi kitab itu mengalami perubahan-perubahan
dalam perjalanan sejarah agama itu. [3] Sistem merasa dan berpikir inheren
dengan system merasa dan berpikir tiap segi kehidupan kebudayaan
masyarakat. [4] Berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat yang
menganutnya. [5] Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tidak tahan
terhadap kritik akal. [6] Konsep ketuhanannya bukan serba esa Tuhan12..
Berdasarkan ciri-ciri agama budaya [bukan-wahyu] di atas, Sidi Gazalba
mengemukan cirri-ciri agama samawi [agama wahyu], adalah : [1]
Disampaikan oleh Rasul Tuhan [utusan Tuhan], dengan pasti dapat
11 Ahmad Abdullah al-Masdoosi, 1962, Living Religions of the World: a Socio-political Study, English
Renderring by Zavar Ishaq Ansari [Karachi: Begum Aisha Bawany Wakf, hlm.11-12.
12 Sidi Gazalba, 1976, Sistematika Filsafat [buku I], Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 82-83.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 8 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
dinyatakan waktu lahirnya. [2] Memiliki kitab suci yang diwariskan Rasul
Tuhan dengan isi yang serba tetap. [3] Sistem merasa dan berfikirnya tidak
inheren dengan system merasa dan berpikir tiap segi kehidupan [facet
kebudayaan] masyarakat yang menganutnya, bahkan dikehendaki sistem
merasa dan berfikir tiap kehidupan mengarah kepada system berfikir dan
merasa agama. [4] Tak berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat
yang menganutnya, sebaliknya justru mengubah mentalitas penganutnya. [5]
Kebenaran prinsip-prinsip ajaran agama tahan terhadap kritik akal. [6]
Konsep ketuhanannya serba Esa Tuhan Murni.
Klasifikasi agama ke dalam dua jenis [agama alamiyah dan agama
samawiyah] dan ciri-ciri pokok yang membedakannya secara tajam,
dimaksudkan untuk “menghindari generalisasi” dan pencampuradukan serta
penyamarataan semua agama. Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa
agama tidak merupakan genus yang mempunyai species, akan tetapi dengan
klasifikasi dua gejala alamiyah yang disebut agama budaya yang timbul dari
kehidupan manusia sendiri dan agama samawiyah atau wahyu yang
diberikan Allah swt kepada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.
3. Agama Samawi Bukan Merupakan Bagian Kebudayaan
Berbeda dari pola pemikiran di atas, terdapat kelompok pemikir yang
mengatakan bahwa “agama wahyu” bukan merupakan bagian kebudayaan.
Kelompok ini berpendapat bahwa “agama samawi” dan kebudayaan adalah
berdiri sendiri-sendiri. Jadi “agama samawi dan kebudayaan tidak saling
mencakup”. Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa: Agama samawi dan
budaya tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak merupakan
bagian daripada yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara
keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan
dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula
terlihat dalam hubungan erat antara suami dan isteri, yang dapat melahirkan
putera, namun suami bukan merupakan bagian dari si isteri, demikian pula
sebaliknya”13.
Apabila kita mengikuti pandangan dan pendirian-pendirian seperti
diketengahkan di atas, maka pandangan Saifuddin Anshari dapat diterima.
Dan atas dasar itu, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa agama Islam sebagai
agama samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan [Islam], demikian
pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama
13 Endang Saifuddin Anshari, 1980, Agama dan Kebudayaan, Cet. Ke-1, Bina Ilmu, Surabaya,hlm. 46.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 9 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Islam. Artinya antara agama dan kebudayaan masing-masing berdiri sendirisendiri,
namun di sisi lain terdapat kaitan erat antara keduanya14.
Hubungan erat itu adalah Islam merupakan dasar, asas, pengendali,
pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam
pengembangan dan perkembangan cultural. Agama [Islam]-lah yang menjadi
pengawal, pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya,
sehingga ia menjadi “kebudayaan yang bercorak dan beridentias Islam”.
Begitu pula berhubungan agama Islam dan kebudayaan Islam itu berdiri
sendiri, artinya ada saling paut dan saling kait yang erat antara keduanya,
maka keduanya dapat dibedakan dengan jelas dan tegas. Shalat, misalnya
adalah unsure [ajaran] agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan
manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan
manusia, dan juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya
kebudayaan. Untuk tempat shalat, kemudian orang membangun masjid
dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, bangunan masjid itulah
kebudayaan. Sedangkan, seluruh segi ajaran Islam menjadi tenaga
penggerak bagi penciptaan budaya15.
Menurut Faisal Ismail [1998: 44], bahwa pandangan dan pemahaman
yang kurang proporsional seperti yang dikemukakan di atas, berasal dari
sarjana-sarjana Islam, agaknya banyak dipengaruhi cara berpikir sarjana
bukan Islam terutama pandangan yang dikemukakan oleh H.A.R. Gibb yang
mengatakan, bahwa : “Islam is indeed much more than a system of theology:
it is a complete civilization”. Kata-kata Gibb di atas, oleh M.Natsir
diterjemahkan: “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja;
dia itu adalah satu kebudayaan yang lengkap”. Kemudian, dengan kata-kata
yang agak berbeda, M. Natsir menerjemahkan pula: “Islam lebih dari satu
sistem peribadatan; ia adalah satu kebudayaan yang lengkap”. Dari
pandangan ini, Endang Saifuddin Anshari, mengatakan bahwa kata-kata Gibb
dan terjemahan M. Natsir, Endang sangat menaruh keberatan dan
memberikan kritik. Keberatan dan kritik Endang Saifuddin Anshari terhadap
terjemahan M. Natsir adalah sebagai berikut: ….tidaklah tepat
menerjemahkan a system of theology tidak sama dengan agama atau
peribadatan; teology adalah suatu studi [jadi: ilmu] tentang salah satu aspek
agama, yaitu : credo, creed atau aqidah. Stdu tentang agama [atau tentang
bagian dari pada agama] tidaklah sama dengan agama itu sendiri16.
14 Faisal Ismail,1998, op.cit., hlm.43.
15 Ibid, hlm. 44.
16 Endang Saifuddin Anshari, 1980, op.cit., hlm.50.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 10 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Terhadap kata-kata Gibb [Islam is indeed much more than a system of
theology; it is a complete civilization], Endang Saifuddin , menolak kata-kata
Gibb itu dengan mengajukan argumentasinya: Islam adalah wahyu. Jadi
bukan satu system teology, karena logi [=ilmu, science, studies]. Dan Islam
bukanlah ilmu, Karen ilmu adalah salah satu cabang daripada kebudayaan,
dan ciptaan manusia]. Sekali lagi menurutnya Islam adalah wahyu, jadi
samasekali bukanlah civilization walaupun pakai ajektif “complete” sekalipun!
Karena menurut kamus dan ensiklopedia manapun civilization itu adalah
“man-made”, karya manusia, ciptaan insani” [Endang Saifuddin Anshari,
1980:50]. Kemudian, dengan alas an ini Endang Saifuddin Anshari,
mengatakan lebih lanjut, bahwa “Pendapat Gibb termaktub di atas banyak
sekali diambil oper begitu saja oleh orang-orang Islam sendiri, tanpa
dipikirkan konsekuensinya lebih jauh! …Hal ini dapat saja dipahami, bahwa
kesimpulan seperti itu dapat keluar dari seorang “Islamolog” bukan muslim
seperti H.A.R. Gibb [Endang Saifuddin Anshari, 1980:50]. Pandangan ini
tidak banyak berbeda dengan kata-kata dan kesimpulan Gibb di atas adalah
pandangan G.E. Von Grunebaum yang dalam salah satu pengantar katanya
tentang “Profil Peradaban Islam”, mangatakan, bahwa: “Dalam
perkembangan selanjutnya, Islam berkembang menjadi suatu peradaban”
[Faisal Ismail,1998:45]. Terhadap pandangan G.E. Von Grunebaum di atas,
bahwa Islam tidak pernah berkembang menjadi peradaban dan atau
kebudayaan.
Jika, diteliti secara seksama pandangan G.E. Von Grunebaum tersebut,
mengandung pengertian bahwa pada mulanya Islam itu agama, kemudian
dalam pertumbuhan selanjutnya berkembang menjadi peradaban. Faisal
Ismail, menyatakan ini tidak benar! Islam selamanya adalah agama dari sejak
diturunkan sampai sekarang dan sampai hari akhir. Islam tidak pernah
berkembang menjadi peradaban tetapi Islamlah yang membentuk dan
menumbuhkan peradaban atau kebudayaan dalam masyarakat penganutnya
[Faisal Ismail,1998:46].
Suatu hal yang perlu mendapatkan penekanan adalah bahwa agama
Islam dan kebudayaan Islam adalah berbeda, artinya masing-masing berdiri
sendiri [agama=wahyu; kebudayaan = produk akal]. Tentu saja harus ada
saling kait antara keduanya agar tetap menjadi kebudayaan Islam. Tetapi
lain halnya dengan agama-agama suku [agama alamiah yang dianut oleh
suku-suku tertentu], perpaduan antara “agama dan kebudayaan” sangat erat
sekali, bahkan sulit dipisahkan, artinya kebudayaan adalah sama dengan
agama [contoh; agama Hindu di Bali]17.
17 Faisal Ismail,1998, op.cit., hlm.46.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 11 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Dalam agama-agama suku, orang melakukan sesuatu aktivitas,
dilakukan dengan “mantra” dan “sajian”. Oleh karena itu, dalam agamaagama
suku, kultur [kebudayaan] dalam setiap seginya sangat erat dan tak
terpisahkan dengan ibadat [cultus]. Sebagai contoh, amati kehidupan
keagamaan Hindu di masyarakat Bali, di mana “antara agama, adat-istiadat,
tradisi, seni budaya sulit dibedakan dan dipisahkan dari ritual agama, karena
semuanya lebur dalam satu kesatuan yang utuh dan padu [terintegrasi].
Upacara peribadatan, tabuhan, nyanyian, adat istiadat dan tradisi serta
kesenian saling berkait secara utuh. Upacara-upacara keagamaan disertai
dengan sajian, tarian, nyanyian, seni dan sebagainya. Di sini dapat dikatakan
bahwa kebudayaan sama dengan agama, artinya agama tidak dapat
dipisahkan dari kebudayaan, karena keduanya menyatu.
Dalam Islam, unsur-unsur kebudayaan “terlarang masuk ke dalam
[ajaran] agama”. Misalnya saja, orang dapat melakukan shalat langsung
kepada Allah tanpa disertai media nyanyian, tarian, saji-sajian, dan unsurunsur
kebudayaan lainnya. Dengan demikian, agama Islam tetap terpelihara
dan terjaga kemurnian dan keasliannya, tidak tercampuri oleh adanya anasiranasir
kebudayaan yang hendak menyusup dan disusupkan ke dalam
agama. Maka, setiap unsure kebudayaan yang hendak menyusup dan
disusupkan ke dalam agama ia pasti ditolak dan akan diketahui karena
agama Islam dapat dibedakan dengan hal-hal yang bukan agama18.
Y.B. Sariyanto Siswosoebroto [seorang Katolik yang sudah masuk
Islam], menyatakan “kalau kita mengikuti dengan cermat perubahanperubahan
yang terdapat dalam Gereja, maka keseimpulannya bahwa
agama sama dengan kebudayaan akan menjadi jelas. Sebagai contoh, beliau
mengatakan bahwa sebelum Konsili Vatikan II, Kurban Missa [kebatinan]
memakai bahasa Latin, sedangkan sesudah Konsili Vatikan II, dengan sedikit
demi sedikit Missa memaakai bahasa setempat. Kesenian daerah masuk ke
dalam Kurban Missa, seperti gamelang, sendratari dan lain-lain, sehingga
orang ke Gereja bukan saja mengikuti Kurban Missa tetapi juga menikmati
sendratari. Penemuan-penemuan dan percobaan-percobaan baru
dimasukkan ke dalam liturgy [kebaktian]. Misalnya: Gereja Pugeran
Yogyakarta, Pastor dengan memakai pakaian kejawen lengkap dengan keris
mempersembahkan Missa. Tanda pengenal bahwa dia seorang Pastor hanya
pada stola yang dikalungkan ke lehernya.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka kita dapat
bertanya : “Apakah memang agama itu sama dengan kebudayaan” yang
18 Ibid. Hlm.47.
FM-UII-AA-FKA-07/R1
MATERI/BAHAN MATA KULIAH
Fakultas : FIAI dan KEDOKTERAN Pertemuan ke : KETIGA
Jurusan/Program Studi : Tarbiyah PAI dan Ilmu Kedokteran Modul ke : III
Kode Mata Kuliah : 10001011 Jumlah Halaman : 12
Nama Mata Kuliah : Pemikiran dan Peradaban Islam Mulai Berlaku : 2008
Dosen : Drs. Hujair. AH. Sanaky, MSI
Versi : 1 Revisi : 1 Halaman 12 dari 12
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
penghayatannya harus dikembangkan dengan kedaan zaman? Dalam agama
Islam cara orang shalat dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang
tetap sama. Unsur-unsur kebudayaan boleh dimasukkan dalam agama kalau
itu hanya menyangkut dengan masalah teknis tanpa merubah inti agama itu
sendiri19.
III. LEMBAR KERJA
Pada lembar kerja ini, mahasiswa diminta untuk menjawab atau
memecahkan masalah pada akhir kuliah, sebagai berikut. Dari pandangan
yang dikemukakan di atas, apakah pandangan saudara terhadap pemikiranpemikiran
tersebut. :
1. apakah agama itu sama dengan kebudayaan,
2. apakah agama bagian dari kebudayaan,
3. apakah kebudayaan bagian dari agama.
Sebab pemikiran yang dicetuskan dan dipopulerkan oleh Sidi Gazalba,
bahwa agama dan kebudayaan Islam merupakan bagian dari “Din Islam”
[agama Islam]. Walaupun pemikiran Sidi Gazalba ini dikritik atau ditentang
banyak kalangan.
Silahkan saudara mencoba mendiskusikan dalam “kelompok dikusi”
kecil dan berusaha memberikan argumentasi-argumentasi atau jawaban
terhadap permasalahan tersebut di atas, dalam diskusi kelas.
19 Y.B. Sariyanto Siswosoebroto, 1978, “Kebatinan dan Agama Kristen” dalam harian Masa Kni [No.247
tahun XII, 8 Februari 1978], hlm. 1-4]
krisnawan adi kusuma
rabu, 30 desember 2009
Hubungan Agama dengan Masyarakat
Telah kita ketahui Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat dikaitkan hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestraikan budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya.Hal ini membuktikan bahwa agama mempunyai hubungan yang erat dengan budaya sebagai patokan utama dari masyarakat untuk selalu menjalankan perintah agama dan melestarikan kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut mempunyai andil yang besar dalam melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang menjalankan semua perintah agama dan ikut menjaga budaya agar tetap terpelihara.
Selain itu ada juga hubungan lainnya,yaitu menjaga tatanan kehidupan.Maksudnya hubungan agama dalam kehidupan jika dipadukan dengan budaya dan masyarakat akan membentuk kehidupan yang harmonis,karena ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh jika kita rajin beribadah dengan baik dan taat dengan peraturan yang ada,hati dan pikiran kita pasti akan tenang dan dengan itu kita dapat membuat keadaan menjadi lebih baik seperti memelihara dan menjaga budaya kita agar tidak diakui oleh negara lain.
Namun sekarang ini agamanya hanyalah sebagi symbol seseorang saja. Dalam artian seseorang hanya memeluk agama, namun tidak menjalankan segala perintah agama tersebut. Dan di Indonesia mulai banyak kepercayaan-kepercayaan baru yang datang dan mulai mengajak/mendoktrin masyarakat Indonesia agar memeluk agama tersebut. Dari banyaknya kepercayaan-kepercayaan baru yang ada di Indonesia, diharapkan pemerintah mampu menanggulangi masalah tersebut agar masyarakat tidak tersesaat di jalannya. Dan di harapkan masyarakat Indonesia dapat hidup harmonis, tentram, dan damai antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya.
diposkan oleh krisnawan adi di 03.49
Iwan Joeyz (Sekretaris UKPK)
1. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75)
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
2. Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).
Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.
3. Agama dan budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisankeempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).
Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.
4. Agama-agama sebagai aset bangsa
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi pengembangan budaya Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama sebagai golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi karena hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu mensyukurinya. Lebih buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa yang diluar kita adalah jahat dan patut dicurigai. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-monumen budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:
1. Mengembangkan religius literacy.
Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan religious literacy, yaitu sikap terbuka terhadap agama lain yaitu dengan jalan melek agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta huruf dalam pendidikan. Kitaakui bahwa selama ini penganut agama buta huruf terhadap agama diluar yang dianutnya. Jadi perlu diadakan upaya pemberantasan buta agama, Karena buta terhadap agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik tanpa menh\ghiraukan bahwa ada yang baik dari agama lain. Kalau orang melek agama, maka orang dapat memahami ketulusan orang yang beragama dalam penyerahan diri kepada Allah dalam kesungguhan. Sikap melek agama ini membebaskan umat beragama dari sikap tingkah laku curiga antara satu dengan yang lain. Para pengkhotbah dapat berkhotbah dengan kesejukan dan keselarasan tanpa bertendensi menyerang dan menjelekkan agama lain. (Budi Purnomo, 2003).
2. Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama.
Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang legacy spiritual dari setiap agama di Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana bersama menghadapi krisis-krisis Indonesia yang multi dimensi ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah masalah korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy yang tersebut sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal dasar dalam menghadapi masal-masalah tersebut, tetapi belum pernah ada suatu wacana bersama-sama untuk melahirkan suatu pendapat bersama yang bersifat operasional.
Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.
KEPUSTAKAAN
Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.
Budi Purnomo, Alays, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990
O’Dea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1982.
Tule, Philipus, Wilhelmus Julei, ed Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, Flores:Penerbit Nusa Indah, 1994.
Wach, Jajachim, Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV Rajawali, 1984.
Prev: Kapitalisme
Next: Hubungan Agama dan Budaya dalam Islam