LANDASAN ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI PANCASILA
Landasan Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pancasila
Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya. Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup kesemestaan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas landasan; Ontologis Pancasila, Epistemologis Pancasila dan Aksiologis Pancasila.
1. Landasan Ontologis Pancasila.
Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologism. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.
Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975: 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat: Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
2. Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a. Tentang sumber pengetahuan manusia;
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
c. Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk pyramidal.
Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
1) Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit.
2) Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
3) Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khhusus konkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham.
Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.
Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkankebenaran yang tinggi.
Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
3. Landasan Aksiologis Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek. Ada berbagai macam teori tentang nilai.
1. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
d. Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
2. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok:
a. Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
b. Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
c. Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
d. Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e. Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
f. Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
g. Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
h. Nilai-nilai keagamaan
3. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:
a. Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
b. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat macam:
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2) Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
3) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
4. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
a. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
b. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
c. Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
5. Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
6. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
7. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian merupakan sistem filsafat.Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti aterialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.
Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan
kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya
terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
(1) Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
(2) Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4
dan 5;
(3) Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila
4, dan 5;
(4) Sila 4, diliputi, didasari,dijiwai sila 1,2,3,dan mendasari dan menjiwai sila 5;
(5) Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Inti sila-sila Pancasila meliputi: (1) Tuhan, yaitu sebagai kausa prima (2) Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk social (3) Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri (4) Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong (5) Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Kesatuan sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Sebagai dijelaskan pula bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifaf hierarkhis dan mempunyai bentuk pyramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila.
Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan system filsafat memiliki, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis sendiri yang berbeda dengan system filsafat yang lainnya, misalnya; materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia. Telah dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila itu bersifat hierarki dan mempunyai bentuk piramida.
Pancasila yang memiliki susunan yang hierarkis piramida berarti juga Pancasila yang memiliki susunan bersatu membentuk satu kesatuan dan urutannya sudah diatur sedemikian rupa sehingga Pancasila saling menjiwai dan dijiwai diantara sila-silanya.
Sila ketuhanan merupakan tingkatan yang tertinggi diantara sila dibawahnya. Karena sila pertama ini merupakan nilai yang bersifat mutlak, kemudian diikuti dengan sila kedua. Sedangkan untuk sila persatuan, sila kerakyatan, dan sila keadilan berkaitan dengan kehidupan kenegaraan. Nilai persatuan dipandang memiliki nilai yang lebih tinggi daripada nilai kerakyatan dan keadilan. Kemudian sila kerakyatan merupakan syarat terwujudnya keadilan, sedangkan keadilan merupakan tujuan dari keempat sila lainnya.
VISI, MISI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Visi dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan
(SK Dirjen No.43/Dikti/Kep/2006)
Tjipto Subadi
Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No. 43 / Dikti / Kep / 2006, terdapat visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
1. Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa mementapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religiuus, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya.
2. Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air da;lam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.
Selain visi dan misi tersebut di atas pendidikan kewarganegaran mempunyai tujuan umum dan khusus:
a. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
b. Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan akan hak dan kewajiban secara santun, jujur, demokratis serta ikhlas sebagai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
2. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai perjuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar